Dr. Ahmad Zain An Najah, MA
Banyak
jama’ah yang menanyakan hukum dana talangan haji yang sekarang sedang marak di
berbagai tempat. Hanya dengan modal lima juta rupiah seseorang bisa mendaftar
untuk berangkat haji dengan menggunakan dana talangan yang disediakan oleh berbagai lembaga keuangan.
Bagaimana hukum dana talangan haji ini, apakah boleh atau haram?
Pengertian
Dana Talangan Haji
Dana
Talangan Haji adalah pinjaman dari Lembaga Keuangan Syariah kepada nasabah
untuk menutupi kekurangan dana, guna memperoleh kursi haji pada saat
pelunasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji). Nasabah kemudian wajib
mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam itu dalam jangka waktu tertentu.
Kemudian Lembaga Keuangan Syariah ini menguruskan pembiayaan BPIH berikut
berkas-berkasnya sampai nasabah tersebut mendapatkan kursi haji. Atas jasa
pengurusan haji tersebut, Lembaga Keuangan Syariah memperoleh imbalan, yang
besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan.
Hukum
Dana Talangan Haji
Lembaga–lembaga
Keuangan Syariah di dalam menerapkan Dana Talangan Haji merujuk kepada Fatwa
DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI Nomor 29/DSN-MUI/VI/2002 tanggal 26 Juni 2002
tentang biaya pengurusan haji oleh LKS (Lembaga Keuangan Syariah). Jadi
akad qardh wa ijarah adalah gabungan dua akad, yaitu akad qardh
(pinjaman) dengan akad ijarah (jasa), yaitu jasa LKS memberikan pinjaman
kepada nasabah. Dalil utama fatwa DSN ini, antara lain dalil yang membolehkan ijarah
(seperti Qs. Al-Qashash [28]:26) dan dalil yang membolehkan meminjam uang (qardh)
(seperti Qs. Al-Baqarah [2]:282). Ketentuan umum yang termaktub dalam Fatwa
tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah)
dengan menggunakan prinsip al-ijarah sesuai fatwa DSN-MUI nomor
9/DSN-MUI/IV/2000.
2.
Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan
menggunakan prinsip al-Qardh sesuai fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
3.
Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan
pemberian talangan haji.
4.
Besar imbalan jasa al-ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan
al-Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah.
Penjelasan Fatwa DSN
Secara teori ketentuan umum yang disebutkan oleh DSN MUI di atas tentang upah
dan pinjam meminjam dalam kasus Dana Talangan Haji sudah benar. Namun
apakah ketentuan itu sesuai dengan yang diterapkan oleh Lembaga-lembaga
Keuangan Syariah dalam hal ini oleh Bank-bank Syariah?
Di dalam ketentuan umum fatwa DSN No. 3, dijelaskan bahwa : “Jasa
pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian
talangan haji.“
Sekarang marilah kita lihat dalam praktiknya, apakah seorang nasabah dibolehkan
meminjam kepada Bank sejumlah uang untuk menutupi biaya haji yang masih kurang,
tanpa meminta jasa kepada Bank Syariah untuk mengurusi masalah
haji-nya? Artinya, Bank Syariah hanya meminjamkan uang saja, tanpa
memungut tambahan sedikitpun?
Sebaliknya, apakah ada seorang nasabah yang sudah mempunyai uang dana haji yang
cukup, kemudian meminta pihak Bank untuk mengurusi hajinya dengan membayar upah
kepengurusan? Mungkin model kedua ini ada, dan bisa terjadi, walaupun sangat
jarang.
Yang jelas, di dalam praktiknya, rata-rata Bank Syariah menawarkan Dana
Talangan Haji kepada nasabah yang belum punya dana yang cukup untuk biaya haji,
dengan ketentuan bahwa pihak Bank yang akan menguruskan pendaftaraan haji dan
meminta upah kepada nasabah. Ini artinya bahwa Bank telah melanggar ketentuan
umum No. 3 dari Fatwa DSN di atas. Dan secara hukum Syariah ini tidak
dibolehkan.
Adapun dasar dari larangan di atas (mensyaratkan jasa pengurusan haji dengan
pemberian dana talangan haji, atau sebaliknya mensyaratkan pemberian dana
talangan dengan meminta jasa pengurusan haji) adalah sebagai berikut :
Pertama : Hadist Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu :
عن عَبْد اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ
فِي بَيْعٍ وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Dari
Abdullah bin Amru ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Tidak halal menjual sesuatu dengan syarat memberikan hutangan,
dua syarat dalam satu transaksi, keuntungan menjual sesuatu yang belum engkau
jamin, serta menjual sesuatu yang bukan milikmu (HR Abu Dawud, dan Tirmidzi, berkata Tirmidzi : Hadist Ini
Hasan Shahih)
Dalam hadist di atas diterangkan bahwa : “tidak halal pinjaman yang disyaratkan
dengan jual beli“, begitu juga tidak halal pinjaman yang disyaratkan dengan
pembayaran jasa (al-ijarah), sebagaimana yang terdapat pada Dana
Talangan Haji.
Kedua
: Kaidah Fiqh yang disarikan dari
hadist :
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ فِيهِ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“
Setiap pinjaman yang membawa manfaat (bagi pemberi pinjaman) adalah riba “
Dalam Dana Talangan Haji, pihak Lembaga Keuangan Syariah (Bank Syariah) memberi
pinjaman kepada nasabah, dan mensyaratkan untuk mengurusi berkas-berkasnya
sampai mendapatkan kursi haji. Itu semuanya dengan imbalan sejumlah uang. Dari
sini, pihak Lembaga Keuangan Syariah mendapatkan manfaat dari pinjaman yang
diberikan kepada nasabah, walaupun melalui jasa kepengurusan, sehingga
dikatagorikan uang jasa tersebut adalah riba.
Ketiga : Pinjaman adalah kegiatan sosial, yang bertujuan membantu
sesama, dan mencari pahala dari Allah, sehingga tidak boleh dimanfaatkan untuk
mengambil keuntungan materi darinya.
Kesimpulan :
Program Dana Talangan Haji yang digulirkan oleh Lembaga-lembaga Keuangan
Syariah selama ini menimbulkan banyak problematika di masyarakat, diantaranya
bahwa masyarakat yang sebenarnya belum mampu secara financial untuk
melaksanakan ibadah haji, didorong untuk “mampu“ walaupun harus meminjam uang
ke Bank, dan ini berdampak kepada penuhnya kuota jama’ah haji.
Selain itu, walaupun berpegang kepada fatwa DSN MUI, tetapi secara
praktiknya, Dana Talangan Haji ternyata bertentangan dengan fatwa
DSN MUI itu sendiri, serta bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah dalam
Muamalat. Maka, kita berharap agar program ini bisa ditinjau ulang kembali. Wallahu
A’lam.
Bekasi, 25 Rajab 1433 / 15 Juni 2012
Semua orang Indonesia Naik Haji
pakai uang haram?
JAKARTA, FAJAR.online --
Sekretaris Jendral (Sekjen) Kemenag Bahrul Hayat kemarin di Jakarta menjelaskan, Untuk musim haji 2011 lalu, Kemenag memperkirakan menggunakan dana hasil manfaat atau bunga simpanan haji sekitar Rp1,5 triliun sampai Rp1,7 triliun. Bunga tadi didapat dari uang setoran awal 1,6 juta haji yang mencapai sekitar Rp38 triliun.
Bahrul menjelaskan, meskipun bunga tadi tidak dimasukkan ke rekening pribadi-pribadi CJH, tetapi dia mengklaim para jemaah yang berangkat ke tanah suci merasakan manfaat bunga tersebut. Dia menguraikan, ada sejumlah pos biaya haji yang disubsidi dari bunga simpanan itu.
Di antaranya adalah biaya kewajiban CJH kepada pemerintah Arab Saudi dan ongkos sewa asrama di Mekah maupun Medinah. Sementara biaya yang ditanggung 100 persen dari bunga simpanan di antaranya, biaya pengurusan paspor, ongkos selama di embarkasi, dan uang makan selama berhaji.
Aku Berkata: Jika demikian, hanya ada dua kemungkinan:
1. Duit bunga bank dikorupsi sama pejabat KEMENAG
2. Seluruh orang Indonesia yang pakai haji reguler naik haji dari uang HARAM. karena Bunga Bank itu haram.
KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 1 Tahun 2004
Tentang
BUNGA (INTERSAT/FA’IDAH)
Majelias Ulama Indonesia,
MENIMBANG :
1. bahwa umat Islam Indonesia masih mempertanyakan status hukum bunga (interst/fa’idah) yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (al-qardh) atau utang piutang (al-dayn), baik yang dilakukan oleh lembaga keuangan,individu maupun lainnya;
2. bahwa Ijtima’Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawal 1424 H./16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang status hukum bunga;
3. bahwa karena itu, Majelis Ulama Indonesia memnadang perlu menetapkan fatwa tentang bunga dimaksud untuk di jadikan pedoman.
MENGINGAT :
1. Firman Allah SWT, antara lain :
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,lalu terus berhenti (darimengambil riba), maka baginya maka yang telah diambilnya dahulu (sebelum dating larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tiadak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran,dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman,mengerjakan amal shaleh,mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum di pungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.Dan jika (orang-orang berhutang itu) dalam kesukaran,mereka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (Ali’Immran [3]: 130).
2. Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain :
Dari Abdullah r.a., ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan orang yang memakan (mengambil) dan memberikan riba.” Rawi berkata: saya bertanya:”(apakah Rasulullah melaknat juga) orang yang menuliskan dan dua orang yang menajdi saksinya?” Ia (Abdullah) menjawab : “Kami hannya menceritakan apa yang kami dengar.” (HR.Muslim).
Dari Jabir r.a.,ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikn, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikan.” Ia berkata: “mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Akan dating kepada umat manusia suatu masa dimana mereka (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambilnya)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR.al-Nasa’I).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah).
Dari Abdullah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Riba mempunyai tujuh puluh tiga pintu (cara,macam).” (HR. Ibn Majah).
Dari Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikannya.” (HR. Ibn Majah)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sungguh akan datang kepada umat manusia suatu masa dimana tak ada seorang pun diantara mereka kecuali (terbias) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambil)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR. Ibn Majah).
3. Ijma’ ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar (kaba’ir) (lihat antara lain: al-Nawawi, al-Majmu’Syarch al-Muhadzdzab, [t.t.: Dar al-Fikr,t.th.],juz 9,h 391)
MEMPERHATIKAN :
1. Pendapat para Ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (utang piutang, al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi kriteria riba yang di haramkan Allah SWT., seperti dikemukakan,antara lain,oleh :
Al-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama mazhab Syafi’I) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Qur’an, atas dua pandangan.Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang dijelaskan oleh sunnah. Setiap hukum tentang riba yang dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan al Qur’an, baik riba naqad maupun riba nasi’ah.
Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur’an sesungguhnya hanya mencakup riba nasa’yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas harta (piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang di antara mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihang berhutang tidak membayarnya,ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat jatuh tempo berikutnya. Itulah maksud firman Allah : “… janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda… “ kemudian Sunnah menambahkan riba dalam pertukaran mata uang (naqad) terhadap bentuk riba yang terdapat dalam al-Qur’an......
..... 2. Bunga uang atas pinjaman (Qardh) yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang di haramkan Allah SWT dalam Al-Quran,karena dalam riba tambahan hanya dikenakan pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam system bunga tambhan sudah langsung dikenakan sejak terjadi transaksi.
3. Ketetapan akan keharaman bunga Bank oleh berbagai forum Ulama Internasional, antara lain:
1. Majma’ul Buhuts al-Islamy di Al-Azhar Mesir pada Mei 1965
2. Majma’ al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI Yang di selenggarakan di Jeddah tgl 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 28 Desember 1985.
3. Majma’ Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy, keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H.
4. Keputusan Dar Al-Itfa, kerajaan Saudi Arabia,1979
5. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999.
4. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan Syari’ah.
5. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammdiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
6. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan system tanpa Bunga.
7. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003.
8. Keputusasn Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03 Januari 2004;28 Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004;dan 05 Dzulhijah 1424/24 Januari 2004.
Dengan memohon ridha Allah SWT
MEMUTUSKAN
MEMUTUSKAN : FATWA TENTANG BUNGA (INTERST/FA`IDAH):
Pertama : Pengertian Bunga (Interest) dan Riba
1. Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan tempo waktu,diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada umumnya berdasarkan persentase.
2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penagguhan dalam pembayaran yang di perjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah.
Kedua : Hukum Bunga (interest)
1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.
2. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram,baik di lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Ketiga : Bermu’amallah dengan lembaga keuangan konvensional
1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah dan mudah di jangkau,tidak di bolehkan melakukan transaksi yang di dasarkan kepada perhitungan bunga.
2. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah,diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.
Sekretaris Jendral (Sekjen) Kemenag Bahrul Hayat kemarin di Jakarta menjelaskan, Untuk musim haji 2011 lalu, Kemenag memperkirakan menggunakan dana hasil manfaat atau bunga simpanan haji sekitar Rp1,5 triliun sampai Rp1,7 triliun. Bunga tadi didapat dari uang setoran awal 1,6 juta haji yang mencapai sekitar Rp38 triliun.
Bahrul menjelaskan, meskipun bunga tadi tidak dimasukkan ke rekening pribadi-pribadi CJH, tetapi dia mengklaim para jemaah yang berangkat ke tanah suci merasakan manfaat bunga tersebut. Dia menguraikan, ada sejumlah pos biaya haji yang disubsidi dari bunga simpanan itu.
Di antaranya adalah biaya kewajiban CJH kepada pemerintah Arab Saudi dan ongkos sewa asrama di Mekah maupun Medinah. Sementara biaya yang ditanggung 100 persen dari bunga simpanan di antaranya, biaya pengurusan paspor, ongkos selama di embarkasi, dan uang makan selama berhaji.
Aku Berkata: Jika demikian, hanya ada dua kemungkinan:
1. Duit bunga bank dikorupsi sama pejabat KEMENAG
2. Seluruh orang Indonesia yang pakai haji reguler naik haji dari uang HARAM. karena Bunga Bank itu haram.
KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 1 Tahun 2004
Tentang
BUNGA (INTERSAT/FA’IDAH)
Majelias Ulama Indonesia,
MENIMBANG :
1. bahwa umat Islam Indonesia masih mempertanyakan status hukum bunga (interst/fa’idah) yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (al-qardh) atau utang piutang (al-dayn), baik yang dilakukan oleh lembaga keuangan,individu maupun lainnya;
2. bahwa Ijtima’Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawal 1424 H./16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang status hukum bunga;
3. bahwa karena itu, Majelis Ulama Indonesia memnadang perlu menetapkan fatwa tentang bunga dimaksud untuk di jadikan pedoman.
MENGINGAT :
1. Firman Allah SWT, antara lain :
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,lalu terus berhenti (darimengambil riba), maka baginya maka yang telah diambilnya dahulu (sebelum dating larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tiadak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran,dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman,mengerjakan amal shaleh,mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum di pungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.Dan jika (orang-orang berhutang itu) dalam kesukaran,mereka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (Ali’Immran [3]: 130).
2. Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain :
Dari Abdullah r.a., ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan orang yang memakan (mengambil) dan memberikan riba.” Rawi berkata: saya bertanya:”(apakah Rasulullah melaknat juga) orang yang menuliskan dan dua orang yang menajdi saksinya?” Ia (Abdullah) menjawab : “Kami hannya menceritakan apa yang kami dengar.” (HR.Muslim).
Dari Jabir r.a.,ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikn, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikan.” Ia berkata: “mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Akan dating kepada umat manusia suatu masa dimana mereka (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambilnya)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR.al-Nasa’I).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah).
Dari Abdullah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Riba mempunyai tujuh puluh tiga pintu (cara,macam).” (HR. Ibn Majah).
Dari Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikannya.” (HR. Ibn Majah)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sungguh akan datang kepada umat manusia suatu masa dimana tak ada seorang pun diantara mereka kecuali (terbias) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambil)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR. Ibn Majah).
3. Ijma’ ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar (kaba’ir) (lihat antara lain: al-Nawawi, al-Majmu’Syarch al-Muhadzdzab, [t.t.: Dar al-Fikr,t.th.],juz 9,h 391)
MEMPERHATIKAN :
1. Pendapat para Ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (utang piutang, al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi kriteria riba yang di haramkan Allah SWT., seperti dikemukakan,antara lain,oleh :
Al-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama mazhab Syafi’I) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Qur’an, atas dua pandangan.Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang dijelaskan oleh sunnah. Setiap hukum tentang riba yang dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan al Qur’an, baik riba naqad maupun riba nasi’ah.
Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur’an sesungguhnya hanya mencakup riba nasa’yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas harta (piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang di antara mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihang berhutang tidak membayarnya,ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat jatuh tempo berikutnya. Itulah maksud firman Allah : “… janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda… “ kemudian Sunnah menambahkan riba dalam pertukaran mata uang (naqad) terhadap bentuk riba yang terdapat dalam al-Qur’an......
..... 2. Bunga uang atas pinjaman (Qardh) yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang di haramkan Allah SWT dalam Al-Quran,karena dalam riba tambahan hanya dikenakan pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam system bunga tambhan sudah langsung dikenakan sejak terjadi transaksi.
3. Ketetapan akan keharaman bunga Bank oleh berbagai forum Ulama Internasional, antara lain:
1. Majma’ul Buhuts al-Islamy di Al-Azhar Mesir pada Mei 1965
2. Majma’ al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI Yang di selenggarakan di Jeddah tgl 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 28 Desember 1985.
3. Majma’ Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy, keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H.
4. Keputusan Dar Al-Itfa, kerajaan Saudi Arabia,1979
5. Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999.
4. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan Syari’ah.
5. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammdiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
6. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan system tanpa Bunga.
7. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003.
8. Keputusasn Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03 Januari 2004;28 Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004;dan 05 Dzulhijah 1424/24 Januari 2004.
Dengan memohon ridha Allah SWT
MEMUTUSKAN
MEMUTUSKAN : FATWA TENTANG BUNGA (INTERST/FA`IDAH):
Pertama : Pengertian Bunga (Interest) dan Riba
1. Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan tempo waktu,diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada umumnya berdasarkan persentase.
2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penagguhan dalam pembayaran yang di perjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah.
Kedua : Hukum Bunga (interest)
1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.
2. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram,baik di lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Ketiga : Bermu’amallah dengan lembaga keuangan konvensional
1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah dan mudah di jangkau,tidak di bolehkan melakukan transaksi yang di dasarkan kepada perhitungan bunga.
2. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah,diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.
PENDAHULUAN
Dewasa ini, dunia perbankan dan
lembaga keuangan syariah mengalami perkembangan yang sangat cepat.Produk-produk
yang inovatif juga bermunculan secara beragam sehingga beberapa model akad
multi jasa tidak bisa dihindari lagi, bahkan semakin marak. Seperti praktik
adanya pembiayaan dana talangan haji bagi para calon yang ingin menunaikan haji
yang sekarang ini sedang menjamur di tengah masyarakat. Sebagian orang
menganggap dana talangan haji sebagai aplikasi dari akad qardh
(pinjaman) dan Ijarah (sewa-menyewa jasa).
Di satu sisi, masyarakat memandang
adanya pembiayaan dana talangan haji sebagai alternatif yang cukup menarik
untuk mengatasi masalah sulitnya berhaji, baik karena faktor pendanaan yang
belum mencukupi maupun karena terbatasnya quota haji yang tersedia untuk calon
jamaah haji di Indonesia. Namun di sisi lain, diduga ada unsur riba dalam
praktek dana talangan haji. Hal ini karena praktek dana talangan haji
mengharuskan calon jamaah haji membayar sejumlah uang lebih daripada yang
dipinjamnya.
Lembaga perbankan dan keuangan
syariah serta pakar ekonomi Islam harus memahami dengan baik perkembangan
terakhir tentang produk-produk yang mereka tawarkan sekarang ini. Setiap produk
yang ditawarkan oleh perbankan syariah kepada masyarakat hendaknya betul-betul
diperhatikan apakah sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah dalam Islam ataukah
tidak.
Kehadiran makalah ini mencoba
membahas tentang hukum pembiayaan dana talangan haji ditinjau dari aspek Hukum
Islam. Penulisan makalah ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari literatur
dan praktik yang terjadi dalam masyarakat kemudian dianalisis dengan perspektif
dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah yang terkait.
II. Kewajiban
Haji, al-Qardh dan al-Ijarah
A. Haji dalam
al-Qur’an dan al-Sunnah
Ibadah haji merupakan rukun Islam
yang kelima, sehingga wajib bagi setiap muslim yang telah aqil baligh untuk
melaksanakan ibadah haji. Allah SWT berfirman:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ
الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
Artinya: “ Ibadah haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah ”. (QS. Ali Imran : 97)
Secara eksplisit ayat ini
menggunakan jumlah khabariyyah (kalimat berita) yang bermakna
perintah, karena lafadzعَلَى pada ayat tersebut adalah isim fi’il
amr yang menyatakan kewajiban haji.
Kata النَّاسِyang didahului dengan huruf alif lam menunjukkan
semua manusia secara umum. Adapun kata “مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا” adalah takhsis ittishal atau
pengkhususan yang bersambung dalam satu ayat yang sama, sehingga orang yang
wajib haji itu hanyalah orang yang telah masuk dalam kategori istitha’ah (orang
yang mampu) saja.
Pengertian istitha’ah dijelaskan
oleh sabda Nabi SAW sebagai berikut:
عَنْاَنَسٍأَنَّالنَّبِيَّصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَفِيقَوْلِهِعَزَّوَجَلَّ:
مَنِاسْتَطَاعَإِلَيْهِسَبِيلاًقَالَقِيْلَ:
يَارَسُوْلَاللهِمَاالسَّبِيْلُ؟قَالَ: الزَّادُوَالرَاحِلَةُ) رواهالدارقطني(
Artinya: “Dari Anas bahwa Nabi
SAW, didalam firman Allah ‘azza wajalla “man istatha’a ilaihi sabiila”, ia
berkata bahwa Nabi SAW ditanya: Wahai Rasulullah apa yang dimaksud
dengan “as-sabil”? Beliau menjawab: Bekal dan perjalanan.”(HR. Ad
Daruquthni).
Menurut mayoritas ulama’ dalam kitab
al-Bahr, bekal merupakan syarat wajib haji. Bekal adalah harta yang
dapat mencukupi diri sendiri dan mencukupi keluarga yang menjadi tanggungannya
selama ia melaksanakan ibadah haji. Selain bekal, ia juga harus mampu dalam hal
kendaraan, maksudnya yaitu mempunyai biaya untuk ongkos menuju ke tanah suci
Dari uraian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa seseorang yang belum tergolong dalam kategori “istitha’ah”
tidak perlu memaksakan diri untuk menunaikan ibadah haji. Allah SWT berfirman :
لايُكَلِّفُاللَّهُنَفْسًاإِلاوُسْعَهَا
Artinya: “Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS. al Baqarah : 286)
Huruf لَا
dalam permulaan ayat ini adalah Laa Nafi yang bertemu dengan fi’il
mudhari’ berfungsi untuk meniadakan secara menyeluruh. Maksudnya Allah
tidak akan membebani setiap orang sedikitpun. Adapun huruf إِلَّا
di sini adalah huruf istisna’ yang fungsinya untuk pengecualian. Secara
keseluruhan dapat diartikan “tidaklah Allah itu membebani hamba-Nya
sedikitpun, kecuali sesuai batas kemampuan hamba-Nya saja”. Sehingga tidak
layak bagi seorang muslim memaksakan diri untuk menunaikan ibadah haji dengan
melakukan berbagai cara yang akan memberatkan diri sendiri.
B. Hakikat al-Qardh(Memberi
Pinjaman)
1.
Pengertian dan Dalil Pensyariatanal-Qardh
Al-Qardh ialah harta yang diberikan oleh
orang yang menghutangi kepada orang yang berhutang, untuk dikembalikan sebesar
apa yang dipinjam ketika si penghutang mampu membayarnya. Al-qardh
secara bahasa ialah memotong.Dan harta yang diambil oleh orang yang berhutang
disebut al-qardh karena orang yang menghutangi memotongnya dari
hartanya.[1]
Dalil pensyariatan al-qardh
adalah hadits dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, ‘Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً
مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنيْاَ.
وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا
وَاْلآخِرَةِ. وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَ الآخِرَةِ.
وَاللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَاكَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيْهِ.
Artinya: “Barang siapa yang
membantu seorang mukmin terhadap kesusahan dari kesusahan dunia, niscaya Allah
SWT membantunya terhadap segala kesusahan hari kiamat. Dan barang siapa yang
memberi kemudahan kepada orang yang kesusahan, niscaya Allah SWT memberi
kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat. Dan barang siapa yang menutup (aib)
seorang muslim niscaya Allah SWT menutupi (kesalahannya) di dunia dan akhirat.
Dan Allah SWT selalu menolong hamba selama hamba itu selalu menolong
saudaranya.”(HR. Muslim).
Hadits di atas menunjukkan bahwa
pinjaman disyariatkan dalam rangka saling membantu diantara umat muslim.
Selayaknya umat Islam memperhatikan syariat pinjaman (al-qardh) dengan
semangat membantu saudaranya sesama muslim, tanpa mengharap imbalan (tambahan)
dari saudaranya yang berhutang kepadanya. Syari’at menjelaskan bahwa al-qardh
tidak membolehkan adanya tambahan pengembalian, sebagaimanaQaidah ushuliyah
menyebutkan:
كُلُّقرْضٍشرطفيهانيزيدهفهوحرام
Artinya: “Setiap pinjaman yang
mensyaratkan tambahan hukumnya haram”.
2.
FATWA DSN 19/DSN-MUI/IV/2001: TENTANG AL-QARDH
Pertama: Ketentuan Umum al-Qardh
1. Al-Qardh
adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.
2.
Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada
waktu yang telah disepakati bersama.
3.
Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.
4. LKS
dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu.
5.
Nasabah al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela
kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.
6.
Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada
saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan ketidakmampuannya, LKS
dapat:
1.
memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau
2.
menghapus(write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.
Kedua: Sanksi
1.
Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan mengembalikan sebagian atau seluruh
kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi
kepada nasabah.
2.
Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana dimaksud butir 1 dapat
berupa penjualan barang jaminan.
3.
Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi kewajibannya
secara penuh.
Ketiga: Sumber Dana
Dana al-Qardh dapat bersumber
dari:
1.
Bagian modal LKS;
2.
Keuntungan LKS yang disisihkan; dan
3.
Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS.
C. Hakikat al-Ijarah
(Upah)
1.
Pengertian dan Dalil Pensyariatan al-Ijarah (Upah)
Ijarahadalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa,
melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (owner
ship/milkiyah) atas barang itu sendiri.[2]
Dalil pensyariatan Ijarah adalah
firman Allah:
فَإِنْ
أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Artinya: “Kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. ath-Thaalaq: 6).
قَالَتْ
إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ
الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Artinya: “Salah seorang dari kedua
wanita itu berkata, Ya Bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja
(pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”(QS. Al-Qashash: 26).
فَوَجَدَا
فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ
لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
Artinya:“Kemudian keduanya
mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidr
menegakkan dinding itu, Musa berkata, Jikalau kamu mau, niscaya kamu
mengambil upah untuk itu.”
(QS. Al-Kahfi: 77)
وَإِنْ
أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا
سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya: “Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS.
Al-Baqarah:233)
Selain itu, dalil pensyariatan al-qardh
juga terdapat dalam beberapa hadits berikut ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَأَعْطَى
الْحَجَّامَ أَجْرَهُ…(رواه البخري و مسلم )
Artinya: “diriwayatkan dari Ibnu
Abbas ra. bahwa Rasulullah SAW berbekam dan beliau memberi upah kepada tukang
bekam itu…” (HR. Bukhari dan Muslim).
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَأَعْطُوْا الاَجِيْرَ
أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu
Umar ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Berikanlah upah pekerja sebelum
keringatnya kering!””(HR. Ibnu Majah).
2.
FATWA DSN MUI NO. 09/DSN-MUI/IV/2000 TENTANG PEMBIAYAAN IJARAH
Pertama :
Rukun dan Syarat Ijarah
1.
Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak
yang berakad (berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
2.
Pihak-pihak yang berakad: terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan
penyewa/pengguna jasa.
3.
Obyek akad ijarah adalah:
a.
manfaat barang dan sewa; atau
b.
manfaat jasa dan upah.
Kedua: Ketentuan
Obyek Ijarah
1.
Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2.
Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam
kontrak.
3.
Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
4.
Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
5.
Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah
(ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
6.
Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya.
Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7.
Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS
sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli
dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam Ijarah.
8.
Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang
sama dengan obyek kontrak.
9.
Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat
diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
Ketiga : Kewajiban
LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah
1.
Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:
a.
Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan.
b.
Menanggung biaya pemeliharaan barang.
c.
Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
2.
Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa:
a.
Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang
serta menggunakannya sesuai kontrak.
b.
Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
c.
Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang
dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam
menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
Keempat : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau
jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
III. DANA TALANGAN HAJI
A. Hakikat Dana
Talangan Haji
Dana talangan haji adalah dana yang
dipinjamkan oleh pihak bank kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana guna
memperoleh kursi haji saat pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).
Berikut ini adalah contoh beberapa bank yang mempraktekkan dana talangan haji.
1.
Bank BPD Syariah DIY
Menurut mereka, dana talangan haji
merupakan cara memanfaatkan pembiayaan haji untuk merealisasikan perjalanan ke
Baitullah secara lebih pasti dan lebih dekat waktu keberangkatannya. Pembiayaan
dana talangan haji ini menggunakan akad ijarah multi jasa, dengan setoran
tabungan minimum Rp 2.000.000,00 dan membayarkan biaya administrasi pembiayaan
Rp 250.000,00 dan jangka waktu pembiayaan maksimum 48 bulan. Fee Ujrah
sebesar 7,3% yang kesemuanya sudah dimasukkan dalam ketentuan angsuran tiap
bulan. Dan bagi nasabah yang tidak mengangsur selama 3 bulan maka gugurlah
kesempatannya untuk mendapatkan porsi haji. Adapun rincian pembiayaannya adalah
sebagai berikut:[3]
No.
|
Maksimum
Pembiayaan(Rp)
|
PERKIRAAN
ANGSURAN MURABAHAH PERBULAN
|
|||
12
|
24
|
36
|
48
|
||
1
|
5.000.000
|
446.667
|
237.708
|
168.472
|
134.167
|
3
|
7.000.000
|
625.333
|
332.792
|
235.861
|
187.833
|
5
|
9.000.000
|
804.000
|
427.875
|
303.250
|
241.500
|
6
|
10.000.000
|
893.333
|
475.417
|
336.944
|
268.333
|
7
|
11.000.000
|
982.667
|
522.958
|
370.639
|
295.167
|
9
|
13.000.000
|
1.161.333
|
618.042
|
438.028
|
348.833
|
11
|
15.000.000
|
1.340.000
|
713.125
|
505.417
|
402.500
|
13
|
17.000.000
|
1.518.667
|
808.208
|
572.806
|
456.167
|
15
|
19.000.000
|
1.697.333
|
903.292
|
640.194
|
509.833
|
16
|
20.000.000
|
1.786.667
|
950.833
|
673.889
|
536.667
|
17
|
21.000.000
|
1.876.000
|
998.375
|
707.583
|
563.500
|
19
|
23.000.000
|
2.054.667
|
1.098.458
|
774.972
|
617.167
|
21
|
25.000.000
|
2.233.333
|
1.188.542
|
842.361
|
670.833
|
2.
Bank BTN Syariah
Menurut mereka, dana talangan haji
adalah pinjaman dana kepada nasabah Tabungan BTN Haji iB dan tabungan Haji
yangmembutuhkan dana talangan untuk menunaikan ibadah haji sesuai prinsip
Syari’ah. Akad yang digunakan dalam pembiayaan ini adalah qardh
(pinjaman yang diberikan kepada nasabah/ muqtaridh yang memerlukan) serta
dikenakan biaya-biaya, yaitu biaya administrasi dan asuransi jiwa. Jangka waktu
maksimal 5 tahun. Pengembalian besifat fleksibel dengan fee ujrah
menyesuaikan jangka waktu pelunasan. Adapun rincian dana yang harus disiapkan
diawal adalah:[4]
Paket
talangan haji
|
Strata
plafond
|
Biaya
adm/tahun
|
Asuransi
+ Materai
|
Total
dana Awal
|
Paket istiqamah
|
11-15 juta
|
1.237.500
|
200 ribu
|
1,5 juta
|
Paket mabrur
|
16-20 juta
|
1.650.000
|
200 ribu
|
2 juta
|
Paket akbar
|
21-25 juta
|
2.062.500
|
200 ribu
|
2,3 juta
|
3.
Bank Syariah Mandiri
Menurut mereka, Bank Syari’ah
Mandiri (BSM) talangan haji membantu nasabah mewujudkan niat ibadah haji dengan
persyaratan sangat mudah dan cepat. Akad yang digunakan adalah qardhul
ijarah. Landasan dibolehkannya adalah mengacu pada aturan yang telah
ditetapkan oleh Bank Indonesia, Dewan pengawas Syari’ah dan bank Mandiri.
Adapun rincian pembiayaannya adalah sebagai berikut:[5]
Jangka
waktu
|
Dana
talangan
|
Set.
Awal tabungan mabrur
|
Fee
ujrah
|
Biaya
materai
|
Dana
nasabah
|
Total
setoran pertama
|
1 th
|
Rp 22,5 jt
|
Rp 500 rb
|
Rp 2jt
|
Rp 54 rb
|
Rp 2,5 jt
|
Rp 5.054.000
|
2 th
|
Rp 22,5 jt
|
Rp 500 rb
|
Rp 3,7 jt
|
Rp 54 rb
|
Rp 2,5 jt
|
Rp 6.754.000
|
3 th
|
Rp 22,5 jt
|
Rp 500 rb
|
Rp 5,4 jt
|
Rp 54 rb
|
Rp 2,5 jt
|
Rp 8.454.000
|
4.
Bank BRI Syari’ah
Dalam memberikan kemudahan bagi
nasabahnya yang ingin melaksanakan haji namun belum mempunyai dana yang cukup
maka BRI Syari’ah memberikan solusi dengan menawarkan produknya berupa dana
talangan haji. Menurut mereka, dana talangan haji dapat membantu calon jama’ah
haji untuk booking seatporsi keberangkatan haji walaupun dana yang
dimiliki belum mencapai Rp 25.000.000,00.
Nasabah bank yang ingin mendapatkan
porsi dana talangan haji maka terlebih dahulu ia harus membuka rekening
tabungan haji. Besarnya pembiayaan talanga haji yang ditawarkan oleh Bank BRI
Syari’ah dimulai dari Rp 10.000.000,00 – Rp 23.000.000,00. Nasabah juga
harus memberikan uang dana sendiri (DP) terlebih dahulu, besarnya uang DP dalam
hal ini berbeda-beda, misalnya nasabah akan meminjam dana talangan haji sebesar
Rp 23.000.000,00 maka DP yang harus disediakan adalah Rp 2.000.000,00, sehingga
jumlah keseluruhannya adalah Rp25.000.000,00. Jumlah ini merupakan syarat yang
harus dipenuhi oleh nasabah sehingga dapat didaftarkan ke Kementrian Agama
(Kemenag) sebagai calon jama’ah haji.
Akad yang digunakan dalam dana
talangan haji di BRI Syari’ah adalah akad qardhul ijarah. Akad al-qardh
digunakan untuk memberikan pinjaman uang kepada nasabah, sedangkan akad al-ijarah
digunakan untuk memberlakukan ujrah yang akan dibayarkan oleh nasabah kepada
pihak bank. Adapun besar ujrah yang harus dibayarkan oleh nasabah kepada pihak
Bank adalah sebesar Rp 2.070.000,00/tahun. Ujrah ini berfungsi sebagai
balas jasa dari nasabah kepada pihak Bank karena bank mendaftarkan calon
jama’ah haji ke (Kemenag), baik ke daerah maupun ke pusat di Jakarta. Jangka
waktu pelunasan dana talangan haji di Bank ini selama 5 tahun, sehingga
ujrah yang harus dibayar untuk jangka 5 tahun ini adalah sebesar Rp.
10.350.000,00. Ujrah ini bisa dibayarkan di awal secara keseluruhan namun
juga bisa diangsur pertahun, namun yang diperlu diperhatikan tahun pertama ujrah
wajib dibayarkan.
Simulasi dana talangan haji
berdasarkan waktu dan besarnya talangan:[6]
Keterangan
|
Jangka
Waktu
|
||||
1 Tahun
|
2 Tahun
|
3 Tahun
|
4 Tahun
|
5 Tahun
|
|
Rp. 23 juta
|
|
|
|
|
|
Setoran awal tab. Haji
|
50.000
|
50.000
|
50.000
|
50.000
|
50.000
|
Biaya administrasi
|
200.000
|
250.000
|
350.000
|
400.000
|
450.000
|
Ujrah
|
2.070.000
|
4.140.000
|
6.210.000
|
8.280.000
|
10.350.000
|
DP
|
2.000.000
|
2.000.000
|
2.000.000
|
2.000.000
|
2.000.000
|
Jumlah
|
4.320.000
|
4.370.000
|
4.470.000
|
4.520.000
|
4.570.000
|
Angsuran/Bln
|
1.920.000
|
1.045.000
|
754.000
|
609.000
|
522.000
|
|
|
|
|
|
|
Rp. 20 juta
|
|
|
|
|
|
Setoran awal tab. Haji
|
50.000
|
50.000
|
50.000
|
50.000
|
50.000
|
Biaya administrasi
|
200.000
|
250.000
|
350.000
|
400.000
|
450.000
|
Ujrah
|
1.800.000
|
3.600.000
|
5.400.000
|
7.200.000
|
9.000.000
|
DP
|
5.000.000
|
5.000.000
|
5.000.000
|
5.000.000
|
5.000.000
|
Jumlah
|
7.050.000
|
7.100.000
|
7.200.000
|
7.250.000
|
7.300.000
|
Angsuran/Bln
|
1.667.000
|
909.000
|
656.000
|
530.000
|
454.000
|
|
|
|
|
|
|
Rp. 15 juta
|
|
|
|
|
|
Setoran awal tab. Haji
|
50.000
|
50.000
|
50.000
|
50.000
|
50.000
|
Biaya administrasi
|
200.000
|
250.000
|
350.000
|
400.000
|
450.000
|
Ujrah
|
1.350.000
|
2.700.000
|
4.050.000
|
5.400.000
|
750.000
|
DP
|
10.000.000
|
10.000.000
|
10.000.000
|
10.000.000
|
10.000.000
|
Jumlah
|
11.600.000
|
11.650.000
|
11.
750.000
|
11.800.000
|
11.850.000
|
Angsuran/Bln
|
1.260.000
|
682.000
|
492.000
|
397.000
|
340.000
|
Berdasarkan pada data bank tersebut
di atas, disimpulkan bahwa praktek dana talangan haji adalah sebuah transaksi
yang menggunakan akad ijarah multi jasa (BPD Syari’ah). Proses
pelaksanaannya adalah bank memberikan sejumlah uang kepada nasabah sebagai dana
talangan untuk melaksanakan ibadah haji. Kemudian, nasabah mengembalikan dana
pinjaman tersebut dengan cara mengangsurkan sejumlah uang yang nominalnya lebih
dari dana pinjaman tersebut. Selisih inilah yang oleh pihak bank disebut dengan
ujrah sebagai konsekuensi akad yang telah disepakati.Ijarah
multijasa ini mencoba menggabungkan antara qardh yang bersifat tabarru’at
(sosial) dengan ijarah yang bersifat mu’awwadhat (komersil).
Dalam prinsip syariat, transaksi tabarru’at
merupakan transaksi yang bertujuan untuk kepentingan sosial yang tidak
mensyaratkan tambahan apapun.Berbeda dengan transaksi mu’awwadhat yang
bertujuan untuk komersil atau mencari keuntungan. Setiap transaksi memiliki
ruhnya masing-masing, sehingga tak dapat dengan mudah dan menyalahi aturan jika
digabung-gabungkan antara satu dengan yang lain. Transaksi tabarru’atakan
menjadi tidak sah bila disyaratkan adanya tambahan, sehingga tak dapat
digabungkan dengan tujuan komersil yang menuntut adanya keuntungan. Bila
dipaksakan, akad qardhakan rusak karena adanya selisih yang tidak dapat
menyandang dua status sekaligus. Sekalipun akan berstatus sebagai ujrah dalam
akad ijarah, ia akan tetap berstatus riba pada akad qardh, sehingga
tidak mungkin disatukan. Terkecuali ada kerelaan untuk merubah akad mu’awwadhat
menjadi tabarru’at yang hal ini dibolehkan.
Melalui keterangan di atas dapat
diketahui bahwa praktik dana talangan haji di dalamnya terdapat unsur riba.
Riba merupakan segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi.Riba diharamkan
oleh syari’at berdasarkan firman Allah QS. Al-Baqarah (2) ayat 275 sebagai
berikut:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا
يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ
الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا…
Artinya: “Orang-orang yang makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.”
Dana talangan haji juga menggunakan
akad ijarah.Akad tersebut bersifat mu’awwadhat yang menuntut
adanya ujrah.Apabila selisih yang dibayarkan oleh nasabah dikategorikan sebagai
ujrah, Hal ini merupakan hal yang tidak sesuai dengan ‘urfatau adat
kebiasaan karena biaya administrasi tersebut terlalu besar dan tidak seimbang
dengan jasa yang diberikan.
Dengan demikian, akad ijarah
multijasa tidak dapat dibenarkan menurut syari’at, karena berasal dari dua
jenis akad yang bertentangan.Tidak dapat tergolong ijarah karena adanya
ujrah yang tidak wajar, juga tidak dapat digolongkan menjadi qardh
karena mengandung unsur riba.Oleh karena itu hukum Dana Talangan Haji adalah
Haram.
B. Tinjauan
Mashlahat dan Madharat
Sepintas, memang sepertinya sistem
talangan ini memberikan kemudahan bagi umat muslim Indonesia untuk menunaikan
ibadah haji, namun apabila kita amati dengan teliti, dalam sistem talangan ini
ada pembiasan atau pengkaburan makna istitha’ah (mampu) yang merupakan
prinsip dalam menunaikan ibadah haji.
Pembahasan ini mencoba melihat dari
sudut pandang Islam yang lebih realistis dengan melihat dampak sosilogis
yang ditimbulkan. Orang yang sebetulnya belum istitha’ah(mampu) namun
sudah mendapatkan kursi (seat) haji karena dana talangan, hal tersebut
tidak menjamin kepastian untuk bisa berangkat, karena pada saat tahun masa
pelunasan belum ada kepastian apakah dia bisa melunasi talangan hajinya ataukah
tidak. Hal ini menunjukkan bahwa dana talangan haji tidak serta merta menjamin
adanya kemampuan untuk menunaikan ibadah haji. Karena dalam praktik dana
talangan haji mengandung unsur hutang yang menuntut pelunasan sehingga
mengurangi kesempurnaan istitha’ah yang seharusnya tidak ada paksaan
sama sekali sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 286:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا
وُسْعَهَا…
Artinya: “Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”
Pada kenyataannya, sistem yang
bertujuan utama untuk memberikan mashlahat,justru menimbulkan kemadharatan.
Dana talangan haji mampu memotivasi untuk segera melaksanakan haji, namun
disisi lain juga mendorong nasabah untuk berhutang yang pada akhirnya dapat
menyulitkan diri sendiri.Sangat tidak layak bagi seseorang yang belum mampu
untuk berhaji memaksakan diri, karena dikhawatirkan akan terlilit hutang dan
terjerumus ke dalam perbuatan yang diharamkan seperti riba. Selain itu, iadapat
menghalangi orang yang telah lebih awal dalam memenuhi syarat istitha’ah.
Dalam qaidah ushuliyah disebutkan
دَرْءُاْلمَفَاسِدِمُقَدَّمٌعَلَىجَلْبِاْلمَصَالِحِ
Artinya: “Menghindari kerusakan
(kerugian) lebih didahulukan dari pada mendatangkan kemaslahatan (keuntungan).”
IV. ANALISIS
BerdasarkanFATWA DSN MUI NO.
09/DSN-MUI/IV/2000 TENTANG PEMBIAYAAN IJARAH dan FATWA DSN 19/DSN-MUI/IV/2001:
TENTANG AL-QARDH,penggunaan dana talangan haji oleh pihak-pihak bank
sebagaimana yang sudah diterangkan dimuka diperbolehkan jika memenuhi
syarat-syarat yang telah ditetapkan.Jika ternyata fakta di lapangan berbeda
dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh fatwa, maka disinilah terjadi
ketimpangan dan perlu pengkajian lebih lanjut.
Berdasarkan sumber data yang
diperoleh, setiap bank memiliki prinsip proses pelaksanaan dana talangan haji
yang berbeda-beda.Meskipun demikian, esensi pengadaan dana talangan haji oleh
setiap bank adalah sama, yaitu memperoleh keuntungan dari para nasabah yang
berkeinginan untuk melaksanakan ibadah haji.
Melalui data dari beberapa bank di
atas,dapat diketahui bahwa pihak bank memperoleh keuntungan daridanatalangan
haji yaitu berupa ujrah yang dibebankan pada nasabah. Diantara
permasalahan yang terjadi adalah pihak bank mengatakan bahwa talangan haji
menggunakan gabungan dua akad, yaitu akad qardh dan ijarah(seperti
dalam BRI Syari’ah dan BSM).Penggabungan dua akad menjadi satu akad sendiri
hukumnya tidak boleh.Memang sebagian ulama membolehkan, seperti Imam Ibnu
Taimiyah (ulama Hanabilah) dan Imam Asyhab (ulama Malikiyah).Namun yang rajih
adalah pendapat yang tidak membolehkan, yakni pendapat jumhur ulama empat
mazhab, yakni ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.
Menurut ulama yang membolehkan
penggabungan dua akad pun, penggabungan qardh dan ijarah termasuk
akad yang tak dibolehkan.[7]
Selain itu, jika yang digunakan
adalah akad qardh(seperti pada Bank BTN Syari’ah), maka berdasarkan
pengertian qardh yang telah dijelaskan diatas, pihak bank tidak boleh
mengambil keuntungan sedikitpun dari nasabah. Dalam prakteknya, dana talangan
haji menyalahi aturan tersebut sehingga hal ini mengindikasikan bahwa dana
talangan haji hukumnya tidak diperbolehkan, sebab setiap qardh
(pinjaman) yang mensyaratkan tambahan adalah riba, karena besarnya pengembalian
tidak sama dengan jumlah dana yang dipinjamkan.
Jika diteliti lebih lanjut, maka
akan didapati bahwa dalam praktek dana talangan haji terjadi beberapa
keganjilan, yaitu biaya administrasi yang terlalu besar, perbedaan ujrah yang
dibebankan pada nasabah, dan pengembalian dana talangan yang disertai dengan
tambahan yang cukup banyak. Misalnya pada bank BRI Syari’ah, ujrah yang harus
ditanggung oleh pihak nasabah dan wajib dibayar dalam jangka waktu 5 tahun
adalah sebesar Rp. 10.350.000,00, kalau dicermati secara rasional, bukankah
angka ujrah yang harus dibayar itu terlalu besar? Inilah yang menjadi
keganjilan yang tidak rasional.
V.
REKOMENDASI
Berdasarkan pada pemaparan diatas,
maka sudah selayaknya bagi calon jama’ah haji untuk lebih berhati-hati dalam
mempercayakan hajinya pada lembaga yang benar-benar berbasis syari’ah.Bagi para
calon jama’ah haji yang sudah memiliki istitha’ah (kemampuan) untuk
beribadah haji tanpa perlu menggunakan dana pinjaman dari bank atau pihak
manapun, sebaiknya segera mendaftarkan diri melalui lembaga yang mengurusi
pemberangkatan haji. Sementara bagi orang yang belum memiliki istitha’ah
(kemampuan) melaksanakan haji, tidak perlu memaksakan diri dengan mengambil
pinjaman dana talangan haji dari bank tertentu, karena kewajiban ibadah haji
adalah bagi yang mampu. Islam adalah agama yang mudah dan tidak menyulitkan,
sehingga seorang muslimyang belum memiliki kemampuan melaksanakan ibadah haji
tidak perlu membebani diri, karena Allah swt tidak membebani seseorang
sedikitpun kecuali pada hal-hal yang mampu ia kerjakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Comment nya ya..